Langsung ke konten utama

PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI & PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

Hasyim Asy’ari merupakan seorang kiai sekaligus pejuang kemerdekaan karena kedalaman ilmu dan ajarannya. Bagi bangsa ini sumbangsih Kiai Hasyim Asy’ari sangat besar karena paham keislaman ala Ahlussunnah wal Jamaah sangat cocok dengan kebhinekaan yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia.
Kiai Hasyim telah membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu jalan yang selaras. Islam adalah nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal, sedangkan keindonesiaan merupakan realitas sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai Islam tanpa harus menafikannya. Dengan kata lain, nilai Islam harus hadir dalam kebudayaan dan kebhinekaan yang sudah mengakar kuat dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini.
Solidaritas sosial yang dibangun atas sebuah paham Ahlussunah wal Jamaah, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal dan merekonsiliasikannya dengan tradisi lokal masyarakat setempat. Ciri khas Nahdlatul Ulama (NU) adalah adanya pesantren dan masjid yang merupakan media pendidikan umat. Sosok Kiai Hasyim Asy’ari telah menginspirasi banyak pihak agar berjihad dalam ranah pendidikan umat dan menjadikan paham Ahlussunah wal Jamaah sebagai salah satu dasar untuk pengembangan umat.
1. Konsep Pendidikan Menurut K.H. Hasyim Asy’ari
Menurut Hasyim Asy’ari bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Menuntut ilmu atau belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruhi dengan keahliannya pada bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab dan moral, baik murid ataupun guru sendiri. K.H. Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika peserta didik.
2. Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Hal yang membedakan manusia dengan binatang, antara lain karena ilmu. Oleh karena itu, dunia pendidikan atau mencari ilmu itu penting bagi sebuah identitas manusia. Di dalam salah satu karyanya, adab al-‘alim wa al-muta’allim, K.H Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwasanya pendidikan itu penting sebagai sarana mencapai kemanusiannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia dengan menegakkan keadilan, sehingga layak disebut makhluk yang lebih mulia dibanding mahluk-mahluk lain yang diciptakan Tuhan (Rifai, 2010: 75).
Di dalam buku “99 Kiai Karismatik Indonesia,” disebutkan bahwa kitab “Adab al-Alim wa al-Muta’alim” merupakan kitab tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun pada hari ahad tanggal 22 Jumada al-Tsaniyah 1343 H. K.H. Hasyim Asyi’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya mencari literature yang membahas etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur, sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula. Dengan demikian, literature yang menyajikan etika-etika belajar merupakan keniscayaan.
Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap manusia ada dua, yaitu:
1. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Apa yang menjadi inti seorang murid, santri, mahasiswa, atau muslim bukan sekedar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dimana pun jua, dengan belajar yang rajin dan penuh disiplin. Tapi yang lebih utama dari itu, menurut beliau, adalah bagaimana ilmu yang sudah didapat itu harus dipraktikkan atau dimanfaatkan. Ilmu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kemaslahatan khalayak umum. Itu semua merupakan bekal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
Lantas bagaimana agar seseorang pencari ilmu dapat memperoleh manfaat. Dalam hal ini, K.H. Hasyim Asy’ari menjelaskan dalam bentuk etika seseorang pencari ilmu. Beliau membagi etika pencari ilmu dalam 9 bagian yang harus dikerjakan seorang pencari ilmu, yaitu:
1. Membersihkan hati dari berbagai macam gangguan keimanan dan keduniaan.
2. Membersihkan niat
3. Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.
4. Bersabar dan bersifat qana’ah terhadap segala macam nikmat dan cobaan.
5. Pandai mengatur waktu
6. Menyederhanakan makan dan minum
7. Bersikap wara’
8. Menghindari makanan dan minuman yang bisa menyebabkan kemalasan dan kebodohan
9. Mengurangi waktu tidur serta meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat.
K.H. Hasyim Asy’ari juga cukup detail menjelaskan secara teknis mengenai bagaimana persiapan seorang pencari ilmu. Beliau menjelaskan bahwa seorang pencari ilmu harus menjaga kesehatannya dengan tidur teratur, tidak terlalu banyak dan jangan sampai tidak tidur, menjaga pola makannya jangan sampai berlebihan dan menjaga kebersihan.
Latar belakang kitabnya adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, dipengaruhi oleh perubahan yang cepat dan perubahan dan pendidikan klasik menuju pembentukan pendidikan modern, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh penjajahan belanda di Indonesia. Kitab tersebut dibuat untuk memasukkan nilai etis, moral, seperti nilai menjaga tradisi yang baik dan perilaku santun dalam bermasyarakat. Tapi bukan berarti menolak kemajuan atau menolak perubahan zaman. Beliau menerimanya dengan syarat tidak mengubah nilai substantifnya atau bahasa populernya dilkalangan NU: “al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (melestarikan nilai-nilai lama yang positif, dan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih positif).
Menurut Rifai (2009:  79) Rohinah dalam tesisnya yang mengupas konsep pendidikan K.H. Hasim Asy’ari (UIN, Jakarta, 2008) menjelaskan bahwa inti pemikiran pendidikan dalam pandangan kiai Hasyim Asy’ari adalah beribadah kepada Allah. Hal itu karena dalam kitab tersebut beliau menyebutkan bagaimana nilai etis moral harus menjadi desain besar orang hidup di dunia. Melalui kitab tersebut misalnya, beliau menjelaskan bagaimana seorang pencari ilmu mengejawantahkan ilmunya dalam kehidupan kesehariannya dengan perilaku hidup awwakkal warra’, beramal dengan mengharapkan rida Allah semata, bersyukur, dan sebagaiya.
Pada akhirnya, jika nilai-nilai ini sudah menyatu dalam peserta didik, maka akan tumbuh jiwa-jiwa yang memiliki rasa percaya diri, sikap optimis, serta mampu memaksimalkan seluruh potensi yang ada secara positif, kreatif, dinamis, dan produktif. Jadi, apa yang menjadi inti pemikiran pendidikan beliau adalah bagaimana menciptakan ruh manusia yang produktif dan dinamis pada jalan yang benar.Sebagai seorang pendidik yang menulis karyanya “adab al-‘alim wa al-muta-alim, “K.H Hasyim Asy’ari juga mengejawantahkan poin-poin pentingnya dalam kehidupannya, seperti dalam membangun sistem pendidikan pondok pesantren tebuireng miliknya. Bagaimana beliau memasukkan ilmu-ilmu secular atau ilmu umum untuk mendidik santri-santrinya, seperti ilmu buni, matematika, bahasa melayu, bahasa belanda, dan bahasa latin. Disana juga diajarkan bagaimana berorganisasi sebagaimana untuk mewujudkan persatuan perjuangan umat islam Indonesia dan diajarkan pula berpidato agar siap terjun ke masyarakat untuk mendakwahkan ajaran islam secara luas dan mendalam.
Kemudian, beliau juga sangat menekankan menggunakan musyawarah bagi santrinya untuk menjadikan tradisi dalam membahas ilmu-ilmu yang diajarkan oleh ustad-ustadnya yang kemudian hari menjadi Lajnah Bahtsul Masa’il sebagai bentuk tradisi intelektual NU atau pesantren. Namun selain itu, juga digunakan untuk masalah lain, seperti masalah bagaimana menghadapi penjajah belanda dan masalah keseharian, entah itu ekonomi, maupun mencari mata pencaharian.
Secara akademis, karya beliau ini sudah ada yang meneliti, namun jumlahnya relatif sedikit. Ada penelitian yang mengkajinya dan difokuskan pada signifikansi pendidikan dan tugas serta tanggung jawab bagi murid dan guru. Kemudian, ada penelitian yang menelusuri konsep etika belajar mengajar dalam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari dan implikasinya dalam dunia pendidikan islam.
Di sisi lain, karya beliau juga bisa dimasukan dalam garis mazhab syafi’i. Hal ini karena kitab ini banyak mengutip karya-karya imam syafi’i. Kemudian, kecenderungan kitab ini adalah sufistik, dimana disebutkan bagaimana seorang pencari ilmu dianjurkan meninggalkan urusan duniawi yang hedonis dan inti menuntut ilmu adalah mencari keridaan Allah.
Dalam kitabnya ini, beliau sangat menekankan eksistensi dan posisi orang yang berilmu, yaitu ulama atau intelektual, dalam bahasa kita. Maka tak heran ada istilah ulama adalah pewaris nabi. Hal ini bisa diartikan dengan konteks tugas nabi itu diwarikan kepada para ulama untuk mendidik umat manusia ke jalan yang benar.
3. Kontribusi Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari terhadap Pendidikan Berbasis Budaya di Indonesia
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai seorang warga negara merupakan simbol dari ulama yang nasionalis, yang hidupnya dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Peran Kiai Hasyim dalam kemerdekaan tidak dapat diragukan lagi. Sejarah mencatat, beliau berjibaku melawan penjajah dan tidak mau bertekuk lutut dihadapan mereka. Tidak hanya itu, beliau turut membangun bangsa ini melalui pendidikan keagamaan yang memperkukuh semangat kebangsaan dan kemajuan.
Kiai Hasyim merupakan salah satu karakter dari ulama Jawa yang mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas Indonesia. Kiai Hasyim sangat menitikberatkan perihal pentingnya ulama sebagai sosok yang harus melestarikan nilai-nilai profetik, aksetisisme, dan intelektualisme. Yang terpenting, seorang ulama harus senantiasa takut kepada Allah SWT karena setiap tindakannya akan menjadi panutan bagi pengikut dan masyarakat pada umumnya.
Pesantren Tebuireng merupakan salah satu karya terbesar Kiai Hasyim. Pesantren tersebut memiliki kontribusi besar dalam pendidikan Islam di tanah air. Pesantren Tebuireng mewariskan pentingnya kitab kuning sebagai basis pendasaran dan penempaan wawasan keagamaan. Kitab kuning adalah kitab tentang kehidupan, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun amal sosial (Misrawi, 2010: 69-70).
Pesantren Tebuireng merupakan warisan terbaik, pesantren ini harus peka terhadap ilmu-ilmu umum. Seseorang tidak kehilangan identitasnya tetapi juga menerima realitas kemodernan. Pesantren tersebut juga mengajarkan bahasa asing yaitu bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Di samping membangun pendidikan berbasis budaya melalui pesantren, Kiai Hasyim Asy’ari juga adalah sosok yang sangat peduli terhadap pendidikan kalangan perempuan. Hal tersebut lahir dari sebuah pemahaman yang mendalam terhadap sunnah Nabi yang berbunyi, “Perempuan adalah pilar sebuah negara”. Meskipun awalnya gagasan tersebut ditolak sejumlah kiai di forum muktamar NU, Kiai Hasyim dapat meyakinkan mereka agar memperhatikan pendidikan kalangan perempuan.Tidak lama setelah itu, sejumlah pesantren mulai membuka pendidikan untuk kalangan perempuan, diantaranya Pesantren Manbaul Ma’arif, Denanyar, Jombang, dan Nyai Khairiyah yang menetap di Mekkah juga membuka madrasah untuk perempuan, yang dikenal dengan Madrasah al-Banat.
Dalam dunia pendidikan, KH Hasyim juga dikenal sebagai seorang yang mempunyai keahlian dibidang kurikulum dan metode belajar mengajar. Di dalam lingkungan pesantren dikenal adagium “metode lebih baik dari materi”. Oleh karena itu, KH Hasyim sangat menekankan pentingya kurikulum dan metode pengajaran. Secara sederhana, KH Hasyim membuat jadwal pengajaran yang menarik untuk dicermati. Pada saat subuh, ia menjadi imam sholat dan memimpin wirid yang biasa dilakukan setelah sholat subuh. Setelah ritual wirid selesai, ia mengajarkan kitab al-Thahrir dan as-Syiffa fi Huquqil Musthafa karya al-Qdhi ‘Iyadh hingga matahari terbit. Kemudian, KH Hasyim mengumpulkan para pengajar, petugas dan pekerja dipesantren untuk membagikan tugas-tugas harian. Semuanya harus terencana dengan baik sehingga semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan hasil yang maksimal sesuai rencana. KH Hasyim tidak hanya seorang pendidik, tetapi juga seorang pemimpin yang mengerti betul bagaimana system pendidikan dan kepemimpinan harus berjalan secara sinergis sehingga antara satu dengan yang lainnya tidak saling menegaskan.
Sistem pendidikan yang tersusun rapi di Pesantren Tebuireng dan didukung oleh keteladanan semakin menguatkan ada yang potensi yang luar biasa. Peran K.H Hasyim Asy’ari sangat menonjol, efektif dan determinan. Salah satu keteladanan yang diwariskan K.H Hasyim Asy’ari ialah seorang pendidik harus mempunyai totalitas pada pengabdian dan pelayan umat, terutama dalam rangka mencetak kader-kader unggulan. Sistem pendidikan yang diinisiasi oleh KH Hasyim adalah system pengajaran sorogan atau bandongan. Kedua sistem tersebut digunakan sebagai metode utama dalam mentransformasikan ilmu-ilmu agama kepada anak didiknya.
Beberapa kelebihan pendidikan pesantren (Rifai, 2010: 49) :
1. Sistem pemondokan (pengasramaan) yang memungkinkan pendidik melakukan tuntunan dan pengawasan secara langsung kepada santri.
2. Keakraban antara santri dan kiai yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan hidup.
3. Kemampuan pesantren dalam mencetak lulusan yang memiliki kemandirian.
4. Kesederhanaan pola hidup komunitas pesantren.
5. Murahnya biaya penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Menurut K.H Hasyim Asy’ari, pada tahun 1330 H, umat Islam terbagi dalam berbagai mazhab, arus dan pandangan yang diantara mereka saling bertentangan. Kelompok terbesar dari kalangan Muslim Jawa, yaitu Nahdlatul Ulama. Mereka mempunyai karakter yang memadukan tradisi ulama salaf dengan tradisi kebudayaan lokal. Mereka berpegang teguh pada paham Ahlussunah wal Jamaah, tetapi di sisi lain mereka mempunyai sejumlah tradisi yang khas, seperti tahlilan, dibaan, dan ziarah kubur, yang umumnya dilarang oleh kelompok Muslim lain. Dakwah kultural Islam di Jawa meniscayakan sebuah proses akulturasi dengan kebudayaan lokal. Tanpa harus menanggalkan substansi ajalan keislaman, ekspresi lokalitasnya tetap dipertahankan.
Menurut Misrawi (2010: 131-132), kompatibilitas antara nilai-nilai universal Islam dan kearifan lokal merupakan perpaduan yang menjadikan corak Islam menjadi semakin ramah, sejuk dan toleran. Semakin jelas paham yang telah diyakini oleh Kiai Hasyim, yaitu agar kita tidak mudah memperlakukan orang lain sebagai bid’ah dan sesat. Hendaknya diupayakan berbagai hal untuk menegosiasikan antara nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kearifan, yang di dalamnya dimungkinkan akulturasi. Langkah tersebut diperlukan agar tidak terjebak dalam kubangan ekstremisme.
4. Nilai-Nilai Humanis dalam Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
Humanisasi secara sederhana bisa dimaknai dengan memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Untuk mewujudkan humanisasi KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren pada tahun 1899 di Dukuh Tebuireng. Diatas tanah tersebut Pesantren Tebuireng didirikan. Wilayah Tebuireng dikenal dengan tempat  orang-orang yang tidak mengerti agama dan berperilaku buruk. Masyarakat di wilayah Tebuireng dikenal suka merampok, berjudi dan berzina. Pada mulanya pesantren tersebut berupa bangunan yang terbuat dari teratak (bamboo) yang terdiri dari dua petak. Di tempat yang sederhana inilah KH Hasyim tinggal dan mengajarkan ilmu keagamaan kepada santri-santri. Bagian depan rumah tersebut digunakan sebagai pesantren, sedangkan bagian belakang digunakan sebagai tempat tinggal bersama keluarga.
Dalam dua tahun pertama, Pesantren Tebuireng sering mendapatkan ancaman dari masyarakat sekitar, yang dikenal berperilaku buruk. Pada malam hari santri tidak berani tidur dengan menmpelkan tubuhnya ke dinding hal ini dikarenakan masyarakat sekitar seringkali menancapkan senjata tajam untuk melukai santri-santri. Untuk menghadapi ancaman dari masyarakat sekitar pesantren, para santri kemudian belajar pencak silat tidak terkecuali KH Hasyim. Semakin lama, ancaman tersebut mulai berkurang. Karakter dan kealiman KH Hasyim membuat masyarakat yang tinggal di sekitar pesantren mulai menerima dakwahnya. Wilayah  Tebuireng yang dulu dikenal sebagai tempat yang penuh dengan kriminalitas dan tindakan asusiala lainnya berubah menjadi taman iman, ilmu dan amal KH Hasyim berhasil melakukan transformasi social yag sangat berani pada zamannya hinga sekarang.
Nilai-nilai humanis dalam pemikiran beliau juga terlihat dari pemikiran tentang etika guru terhadap siswa (anak didik). Seorang guru atau pendidik hendaknya mencintai para siswa sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, berusaha memenuhi kemaslahatan (kesejahteraan) mereka, serta memperlakukan mereka dengan baik sebagaimana ia memperlakukan anak-anaknya sendiri yang amat disayangi (Asy’ari, 2007: 87).
Selain itu, seorang guru juga harus mampu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada siswa. Guru juga harus memperlakukan siswa dengan baik. Seperti memanggilnya dengan nama dan sebutan yang baik, menjawab salam mereka, dengan ramah menyambut kedatangan mereka, dan menanyakan kabar atau kondisi mereka (Asy’ari, 2007: 93).
Sementara itu, seorang pelajar hendaknya patuh kepada gurunya serta tidak membelot dari pendapat (perintah dan anjuran-anjurannya). Pelajar wajib hormat dan berbakti kepada gurunya dengan sepenuh hati. Ketundukannya adalah suatu kebanggaan dan kerendahan hati terhadap gurunya adalah suatu keluhuran. Seorang pelajar juga harus memiliki pandangan yang mulia terhadap guru serta meyakini akan derajat kesempurnaan gurunya. Pelajar juga hendaknya membangun anggapan yang positif bahwa seburuk apapun perlakuan guru terhadapnya merupakan suatu nikmat (Asy’ari, 2007: 28-31).

A. KESIMPULAN
Sosok Kiai Hasyim Asy’ari telah menginspirasi banyak pihak agar berjihad dalam ranah pendidikan umat. Cara yang beliau lakukan yaitu dengan mendirikan pondok pesantren. Beliau juga merupakan simbol dari ulama yang nasionalis, yang hidupnya dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Secara umum dapat diketahui bahwa K.H Hasyim Asy’ari menganggap pendidikan itu penting sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai kemanusiannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melaksanakan perintah Tuhan dan senantiasa menebarkan kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Wacana.

Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas.

Rifai, Muhammad. 2009. K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947.
Yogyakarta: Garasi.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIJAKAN TENTANG PARIWISATA PADA MASA ORDE LAMA

Pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama), pembangunan ekonomi berdasarkan Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pada masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian pemerintah. Fokus pemerintah pada saat itu masih pada pembangunan dan pembenahan perekonomian nasional sehingga mampu berdiri sendiri (Esti, 2013 : 23-24). Meski pariwisata masih belum menjadi fokus utama pembangunan masa Orde Lama, tetapi pada awal kemerdekaan dan di tengah berkecamuknya revolusi tahun 1946, dengan Surat Keputusan Wakil Presiden (Drs. Moh. Hatta) dalam lingkungan Kementerian Perhubungan, dibentuk Hotel dan Tourisme yang disingkat Honet . Tindakan pertama adalah mengganti nama hotel milik Belanda di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokertp, dan Pekalongan menjadi Hotel...

PARIWISATA SAUJANA: PESONA ALAM BERPADU DENGAN BUDAYA DAN TRADISI

Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia menjadi salah satu surga wisata alam yang sangat mempesona. Wisata alam merupakan salah satu jenis pariwisata yang diminati wisatawan. Dengan sejuta potensi yang dimiliki, Indonesia menjadikan objek wisata alam sebagai magnet yang kuat untuk menarik wisatawan mancanegara. Landscape gunung, danau, sungai, gua, air terjun, sabana, pantai, terumbu karang, gugusan pulau, hutan semua tersaji manis di bumi khatulistiwa kita ini.   Namun terlalu sayang apabila wisatawan hanya menikmati pesona alam saja dan melewatkan sungguhan tradisi dan budaya masyarakat setempat yang unik dan khas. Dengan demikian maka, potensi alam dan budaya tersebut dikolaborasikan menjadi satu dan disebut dengan saujana. Kata saujana disepakati dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003 untuk digunakan sebagai terjemahan dari ‘cultural landscape’ . Saujana merupakan refleksi hubungan antara manusia dengan budayanya dan lingkungan alamnya dalam kesat...