Langsung ke konten utama

Persoalan Dasar Pendidikan: Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan



Pemerataan pendidikan adalah masalah yang nyata dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Anggapan bahwa pendidikan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang saja masih melekat di dalam pemikiran kebanyakan masyarakat Indonesia. Sebenarnya kesenjangan pendidikan atau ketidakmerataan kesempatan memperoleh pendidikan adalah masalah yang harus segera diselesaikan. Memang telah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun tetap saja jangkauan fasilitas pendidikan masih belum dapat mencapai pada keseluruhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang dapat dengan cepat diaplikasikan dalam masyarakat agar pendidikan dapat segera dinikmati oleh seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali.
Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia
Konvensi PBB tentang hak-hak anak bahkan menetapkan bahwa negara peserta konvensi berkewajiban memberikan pendidikan secara gratis bagi anak hingga usia 18 tahun anak-anak mereka. Tugas negara dalam urusan Hak-hak Asasi Manusia adalah melindungi, dan mempromosikan dan mencegah pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia warga negaranya. Dengan demikian “wajib belajar” dalam konteks Hak Asasi Manusia adalah kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Perjalanan peradaban umat manusia akhirnya mencapai puncaknya, dimana manusia meneguhkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melanggengkan eksistensi umat manusia dari kepunahan. (Francis, 2001).
            Sudah seyogyanya pendidikan diberikan kepada seluruh Warga Negara Indonesia, karena setiap individu sebenarnya berhak atas pendidikan dan sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang salah satunya tertulis tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa pendidikan berhak untuk diperoleh seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali dan pemerintah wajib membiayainya. Hal tersebut juga sejalan pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)   Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Dari pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa sejatinya pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara. Adapun pasal-pasal tersebut merupakan sebuah rumusan dan upaya mengatasi masalah pemerataan pendidikan. Solusi utama dalam penanganan masalah pemerataan pendidikan sebenarnya berada pada tangan pemetrintah, sedangkan masyarakat dan civitas akademika lainnya sebagai pendukung suksesnya program-program yang dijalankan oleh pemerintah. Upaya yang paling penting berkaitan dengan pendanaan pendidikan karena inti dari permasalahan banyaknya warga negara yang tidak memperoleh kesempatan belajar adalah akibat tidak adanya dana untuk melanjutkan pendidikan, ketika dana pendidikan disediakan serta sarana dan prasarana pendidikan difasilitasi oleh pemerintah, maka pemerataan pendidikan akan dapat tercapai. Secara garis besar dapat dilihat bahwa pendidikan akan dapat merata dirasakan oleh rakyat apabila pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat terealisasi.
Indikator Pemerataan dan Perluasan Pendidikan Menurut Depdiknas
1.      Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK), yaitu presentase jumlah murid pada suatu satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa sampai 2003, rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun sampai ke atas mencapai 7,1 tahun, dan proporsi penduduk berusia 10 tahun yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2%. Sementara, angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 10,12%.
2.      Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu jumlah presentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karateristik siswa. Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa APM pada 2003 mencapai hampir 93% untuk SD, 63,5% untuk SMP, 54,32% untuk SM Lanjutan, dan 14,26% untuk Perguruan Tinggi.
3.      Angka Partisipasi Sekolah (APS), yaitu jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang terpresentasikan pada beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. Susenas 2003 menunjukkan APS penduduk kelompok usia 13-15 tahun adalah 81,0%, untuk kelompok usia 16-18 tahun mencapai 51,0%.
4.      Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa, seperti jenis kelamin, daerah, status sosial ekonomi, dan sejenisnya.
5.      Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dari masyarakat. (Nugroho, 2008: 35-36).
Solusi Mengatasi Masalah Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan di Indonesia
1.      Pendidikan berbasis masyarakat miskin
Pendidikan yang semakin mahal dan berorientasi bisnis akan sulit menjangkau dan dijangkau warga miskin. Mendirikan sekolah-sekolah baru dalam kondisi negara sedang krisis juga tidak mudah, karenanya pendidikan berbasis masyarakat dapat menjadi pilihan terbaik tanpa harus berbasis lembaga sekolah. Berbagai pengalaman negara miskin dengan visi education for all ternyata sangat berhasil. Warga miskin dapat dicetak menjadi kader-kader pendidik dengan fasilitasi pihak luar. Program seperti ini mungkin saja telah dilaksanakan bagi kelompok masyarakat tertentu, sehingga sudah saatnya diterapkan kepada warga miskin.
Keuntungan pendekatan ini antara lain adalah warga miskin dididik untuk lebih kreatif dan inspiratif karena mereka saling belajar serta belajar langsung dari dunianya sendiri. Pengembangan School-based Management yang berbasis kepada Community-based Education, sudah saatnya memperhatikan kebutuhan masyarakat miskin di banyak komunitas masyarakat. Pengembangan pendidikan dengan basis masyarakat miskin sudah seharusnya ditangani oleh berbagai lembaga dengan berorientasi kepada misi pengembangan kemanusiaan. Pendidikan yang berbasis kepada masyarakat miskin di Indonesia diperkaya oleh banyaknya fenomena kemiskinan dari berbagai kasus. Di perkotaan, fenomena kemiskinan datang dari disparitas pembagian penghasilan yang mencolok di sekor industri. Di daerah pedesaan, kemiskinan banyak diakibatkan oleh merosotnya penghasilan di sektor agraris. (Salim, 2007: 297-298).
Masyarakat miskin menjadi target utama dalam upaya mengatasi pemerataan pendidikan karena memang golongan tersebut yang rentan untuk tidak memperoleh akses pendidikan. Program-program yang berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah tentu akan mempersempit kesenjangan yang terjadi dalam bidang pendidikan akibat dari kapitalisasi atau liberalisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Fasilitasi pendidikan oleh pemerintah yang menjamin standar mutu yang sama bagi masyarakat ekonomi lemah tentu akan mewujudkan pemerataan pendidikan yang nyata, karena selama ini perbedaan fasilitas yang diterima oleh kalangan atas dan kalangan bawah merupakan potret nyata ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Dengan tersedianya fasilitas pendidikan yang memiliki standar baik dengan akses beasiswa yang banyak bagi masyarakat ekonomi lemah merupakan upaya yang efektif dalam menangani ketidakmerataan kesempatan pendidikan.
Lembaga pengelola pendidikan pun harus merupakan pihak yang netral dan tidak memiliki kepentingan ekonomi. Penyelenggara pendidikan harus mengutamakan pembangunan manusia dan penyediaan pelayanan yang total untuk melayani bukan sekedar untuk mencari keuntungan ekonomi. Dengan berorientasi kepada pelayanan, maka visi pendidikan untuk semua orang akan benar-benar terwujud.
2.      Program-program Pemerintah tentang Pendidikan Gratis dan Mengubah Mindset Masyarakat agar Turut Berpartisipasi dalam Pendidikan
Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan yang memiliki uang. Pola pikir tersebut merupakan sebuah pemikiran yang tidak tepat dikarenakan pemerintah Indonesia pada saat ini telah mengupayakan berbagai program dan sarana pendidikan gratis yang dapat diakses seluruh rakyat. Program-program yang disediakan pemerintah sebenarnya telah cukup meningkatkan pemerataan pendidikan. Program-program wajib belajar dan biaya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) telah memiliki dampak yang cukup dalam mengatasi pemerataan pendidikan, setidaknya mampu membantu rakyat golongan menengah kebawah dalam membiayai pendidikannya.
Sudah saatnya untuk mengubah mindset masyarakat tentang kesempatan memperoleh pendidikan. Ketika pola pikir masyarakat telah berubah, bahwa pendidikan saat ini dapat diakses oleh siapa saja tidak terbatas pada golongan tertentu saja, maka tingkat partisipasi masyarakat untuk menempuh pendidikan akan meningkat. Dengan meningkatnya partisipasi pendidikan tentu dapat mendukung upaya mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan Depdiknas yang menyatakan bahwa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan di Indonesia.
Partisispasi masyarakat untuk menempuh pendidikan menjadi penting karena masyarakat adalah target dari program-program yang dijalankan pemerintah tentang upaya pemerataan kesempatan pendidikan. Program-program pemerintah akan menjadi tidak berarti apabila masyarakat sendiri masih rendah dalam tingkat partisipasinya. Oleh karena itu, mengingat bahwa pemerintah telah berusaha menyediakan fasilitas pendidikan yang berupa pendidikan gratis, dana BOS dan beasiswa-beasiswa lainnya, sekarang yang dapat dilakukan adalah dengan mengupayakan peningkatan jumlah partisipasi pendidikan dari masyarakat. Salah satu cara yang cukup efektif adalah bukan hanya sekedar menyediakan sekolah gratis bagi siswa, tetapi juga menyediakan fasilitas lain yang mendukung jalannya proses belajar mengajar, seperti uang transport, uang untuk membeli buku dan alat-alat sekolah lainnya, seperti yang terealisasi dalam bentuk KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Kehadiran fasilitas pendidikan dan penunjang pendidikan seperti KIP, Program Beasiswa Bidikmisi yang bukan sekedar memfasilitasi sarana pendidikan saja, tetapi juga memberikan biaya hidup, sehingga masyarakat tidak akan ragu lagi untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sinergi antara peran pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pengguna fasilitas adalah penting. Ketika fasilitas tersedia namun angka partisipasi masih rendah tentu juga tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Dengan demikian, program-program dan fasilitas akses pendidikan yang tersedia harus dapat distribusikan kepada masyarakat. Cara untuk mendistribusikan dapat dilakukan dengan pendataan dan melalui promosi dan iklan layanan masyarakat bahwa pendidikan saat ini dapat diakses oleh siapa saja dan dengan fasilitas yang memadai serta biaya yang ditanggung sebagian oleh pemerintah maupun biaya yang ditanggung seluruhnya oleh pemerintah melalui program-program beasiswa. Peran aktif masyarakat dalam berpartisipasi dalam pendidikan juga penting guna terselenggaranya pendidikan di Indonesia yang merata dan menjangkau seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan yang dapat menimbulkan kesenjangan.

DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 1994. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia.  
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Nugroho, Riant. 2008. Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi dan Strategi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus dkk. 2007. Indonesia Belajarlah!. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya.
Wahono, Francis. 2001. Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Komentar

  1. Merkur S-B2Ti Titanium Helix Earrings - Titanium Arts
    Custom made to nano titanium flat iron match the quality of the metal earrings ray ban titanium to titanium body jewelry the design of your individual schick quattro titanium razor. titanium max

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI & PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

Hasyim Asy’ari merupakan seorang kiai sekaligus pejuang kemerdekaan karena kedalaman ilmu dan ajarannya. Bagi bangsa ini sumbangsih Kiai Hasyim Asy’ari sangat besar karena paham keislaman ala Ahlussunnah wal Jamaah  sangat cocok dengan kebhinekaan yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia. Kiai Hasyim telah membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu jalan yang selaras. Islam adalah nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal, sedangkan keindonesiaan merupakan realitas sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai Islam tanpa harus menafikannya. Dengan kata lain, nilai Islam harus hadir dalam kebudayaan dan kebhinekaan yang sudah mengakar kuat dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini. Solidaritas sosial yang dibangun atas sebuah paham Ahlussunah wal Jamaah , menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal dan merekonsiliasikannya dengan tradisi lokal masyaraka...

KEBIJAKAN TENTANG PARIWISATA PADA MASA ORDE LAMA

Pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama), pembangunan ekonomi berdasarkan Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pada masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian pemerintah. Fokus pemerintah pada saat itu masih pada pembangunan dan pembenahan perekonomian nasional sehingga mampu berdiri sendiri (Esti, 2013 : 23-24). Meski pariwisata masih belum menjadi fokus utama pembangunan masa Orde Lama, tetapi pada awal kemerdekaan dan di tengah berkecamuknya revolusi tahun 1946, dengan Surat Keputusan Wakil Presiden (Drs. Moh. Hatta) dalam lingkungan Kementerian Perhubungan, dibentuk Hotel dan Tourisme yang disingkat Honet . Tindakan pertama adalah mengganti nama hotel milik Belanda di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokertp, dan Pekalongan menjadi Hotel...

PERKEMBANGAN PARIWISATA INDONESIA PASCAKEMERDEKAAN

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tahun tersebut merupakan tahun-tahun awal pascaperang dunia II yang melumpuhkan segala bentuk aktivitas manusia termasuk kegiatan pariwisata. Meskipun pada periode 1945-1955 masih dalam kondisi pascaperang, pemerintah Indonesia dengan segera mampu menangkap peluang sektor pariwisata sebagai salah satu jalan untuk menunjang perekonomian negara. Pada masa tersebut dibentuklah Honet , yaitu Hotel dan Tourisme sebagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam melanjutkan pengelolaan hotel-hotel bekas milik Belanda. Tindakan yang dilakukan Honet antara lain mengganti nama hotel-hotel peninggalan Belanda. Namun, setelah tugas di atas selasai, Honet tidak lagi memiliki fungsi dan tugas sehingga segera dibubarkan. Pada tahun 1952 dibentuklah Sergahti (Panitia Inter-Departemental Urusan Tourisme) yang diharapkan mampu mengusahakan Indonesia menjadi Tourist Destination . Kegagalan panitia dalam menjalankan misi mengosongkan penghuni-penghuni tetap ho...