Periode tahun 1969 merupakan masa yang
penuh gejolak politik bagi pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dikarenakan
sedang melakukan penataan politik nasional. Namun, pemerintah pada saat itu
tetap memperhatikan sektor pariwisata.
Menurut Kodhyat (1996) dinyatakan bahwa
pada tanggal 22 Maret 1969, telah dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 30
Tahun 1969, tentang Pengembangan Kepariwisataan Nasional. Selain itu, pada
tanggal 6 Agustus 1969, dikeluarkan Instruksi Presiden RI No. 9 sebagai pedoman
pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah dalam membina pengembangan pariwisata
nasional.
Meskipun pemerintah telah memberikan
perhatian, namun pengembangan sektor pariwisata belum dianggap cukup penting
untuk dimasukkan dalam skala prioritas Pembangunan Nasional sehingga tidak
dicantumkan dalam GBHN (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973). Tahap selanjutnya,
pengembangan pariwisata baru dijadikan bagian dari GBHN dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978 dan diperluas lagi dalam GBHN 1983, GBHN 1988, dan GBHN 1993
(Kodhyat, 1996: 83).
Diketahui bahwa menjelang akhir periode
awal Repelita (1969-1983) ini perkembangan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara ke Indonesia, menurun. Pada tahun 1982 wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia turun sebanyak 1,4% dari jumlah wisatawan asing pada
tahun 1981. Hal tersebut dipengaruhi oleh turunnya kegiatan wisata
internasional secara global akibat resesi ekonomi yang berkepanjangan yang
merupakan dampak dari dua kali krisis enerji yang terjadi pada awal dan akhir
tahun 1970-an.
Kemudian, dalam situasi yang serba
suram, industri pariwisata mulai skeptis terhadap Joop Ave (Direktur Jenderal
Pariwisata) dan kemampuannya untuk memacu perkembangan pariwisata Indonesia.
Tiba-tiba Joop Ave memunculkan satu kejutan. Tanggal 23-26 November 1982
diselenggarakan loka karya dan rapat kerja Ditjen Pariwisata di TMII.
Pengarahan diberikan oleh tokoh pejabat tinggi pemerintahan, antara lain Prof.
Widjojo Nitisastro (Menko Ekuin/Ketua Bappenas), J.B. Sumarlin, dan Menteri
Penerangan Ali Murtopo.
Puncaknya
terjadi pada 27 November 1982 dengan diterimanya para peserta loka karya dan
rapat kerja oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Pada kesempatan itu
Presiden Soeharto mengungkapkan hal-hal berikut.
a. Presiden
menantang peserta loka karya dan rapat kerja untuk menjadikan pariwisata
sebagai sumber penghasil devisa kedua atau ketiga setelah minyak bumi dan gas
alam.
b. Presiden
menginstruksikan kepada semua departemen dan instansi terkait untuk mendukung
sektor pariwisata dengan menghilangkan segala hambatan yang ada (Kodhyat, 1996:
87).
Menjelang akhir tahun 1970-an
perekonomian Indonesia dapat dikatakan dimanjakan oleh devisa yang diperoleh
dari ekspor minyak bumi. Kemudian terjadi resesi ekonomi utama. Negara industri
mengambil langkah penghematan. Penurunan impor bahan baku oleh negara industry
mengakibatkan penurunan penerimaan devisa negara berkembang.
Menurunnya penerimaan devisa dari minyak
bumi, mendorong banyak negara, termasuk Indonesia untuk mencari sumber devisa
alternative. Selain kayu dan tekstil, bidang yang sangat berpotensi adalah
pariwisata. Menangkap peluang tersebut, guna mendorong perkembangan industri
pariwisata, pemerintah mengeluarkan kebijakan bebas visa melalui Keppres No. 15
Tahun 1983 tentang Kebijaksanaan Pengembangan Kepariwisataan. Di samping itu,
pemerintah juga memberi keringanan kepada pengusaha sektor pariwisata perihal
perkreditan, perpajakan, bea masuk dan perizinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kodhyat, H. (1996). Sejarah
Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar